Katanya, melahirkan itu sakit.
Katanya, melahirkan itu dekat dengan kematian.
Namun tak pernah saya mengira akan sesakit dan sedekat itu dengan kematian.Iya, pengalaman melahirkan saya ternyata tidak bahagia. Semenjak melahirkan justru kemarahan demi kemarahan pada diri sendiri dimulai kembali.
Sebagai calon ibu baru, tentu banyak yang saya nantikan salah satunya proses IMD (Inisiasi Menyusui Dini) beberapa saat setelah bayi saya lahir... namun saat bayi saya lahir ia malah diadzankan jauh dari pandangan saya. Entah apakah memang begitu aturannya?
Saya menunggu.
Saya menunggu bayi saya kembali mendekat agar bisa saya dekap. Tapi ia tak kunjung mendekat dan malah ditidurkan di dalam inkubator(?) Entah pula apa namanya.
Kemudian mereka sibuk dengan plasenta yang sulit dibersihkan dari rahim saya hingga terjadi perdarahan.
Saat itu rasanya tubuh saya dingin hingga menggigil. Bahkan kaki saya sampai mati rasa. Mata saya mengantuk. Ingin sekali memejamkan mata tapi berulang kali bidan ingatkan untuk tidak tidur. Kurang lebih dua jam sejak bayi saya lahir dan saya masih di ruang bersalin menggigil kedinginan hingga bidan pun akhirnya menyerah merujuk saya langsung ke IGD.
Saat itu... jangankan IMD, saya sendiri belum sempat melihat wajah bayi saya.
Saya tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. Bahkan hampir tidak pernah saya ke rumah sakit karena masalah kesehatan.
Malam itu pertama kalinya saya dibawa ke rumah sakit sebagai pasien darurat.
Pengalaman melahirkan saya rupanya justru amat jauh dari kebahagiaan. Saat itu... sambil kesakitan rahim saya dibersihkan... saya berulang kali disalahkan atas plasenta yang melekat terlalu dalam dan lengket di rahim oleh bu bidan. Pun, saya begitu tidak dipedulikan oleh dokter kandungan yang menangani di rumah sakit.
"Ibu dilempar begitu aja lho bu sama bidan kesini"
Dengan raut wajah dan nada sinis sang dokter. Saya yang saat itu sedang terbaring hanya diam.
Kekecewaan memupuk amarah.
Empat hari.
Empat hari saya dan bayi saya belum bertemu. Hari kepulangan yang saya nantikan akhirnya tiba. Beberapa kali suster menjelaskan bahwa saya bisa pulang setelah visit dokter kandungan yang menangani perdarahan saya, tapi akhirnya saya diizinkan pulang hanya dengan tanda tangan dokter yang bersangkutan tanpa visit.
Sebegitu bersalahnyakah saya sebagai ibu hingga dokter itu begitu membenci tak ingin ada temu?
Atau memang seperti itu pasien BPJS diperlakukan?
Lagi.
Kekecewaan memupuk amarah.
Sampai di rumah.
Saya kira saya baik-baik saja.
Ternyata amarah terhadap orang-orang yang berkaitan dengan persalinan dan rasa bersalah terhadap bayi saya menguasai.
Untuk menyentuh bayi saya sendiri pun saat itu saya takut. Momen menyusui yang begitu saya tunggu-tunggu terhempas karena ketakutan saya mendengar bayi saya menangis. Tiap kali ia menangis, saya merasa bersalah. Semakin menangis semakin saya menyalahkan diri saya atas apa yang saya lalui beberapa waktu lalu.
Saya takut.
Sampai saat ini bayi saya tak ingin disusui langsung. Tiap dua jam saya memompa payudara yang kemudian susunya disimpan di botol untuknya.
Saya takut suatu hari nanti ASI saya habis karena tidak adanya rangsangan dari mulut bayi.
Saya takut tidak ada bonding yang terbangun antara saya dengan bayi saya dari proses menyusui.
Saya takut mendengar komentar yang semakin menakut-nakuti
Saya marah.
Saya marah dengan diri saya.
Saya marah dan menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi selama proses melahirkan kemarin dan dampaknya hingga saat ini.
Saya sedih.
Saya sedih tiap kali ditanya menyusui dengan ASI atau sufor.
Saya sedih tiap kali dikomentari untuk memaksa bayi saya agar menyusu langsung ke payudara bukan dipompa kemudian lewat botol.
Saya sedih tiap kali disangkutpautkan dengan bonding. Bahwa saya tak dapat membangun bonding dengan anak saya tanpa proses menyusui langsung.
Saya takut.
Saya marah.
Saya sedih.
Saya begitu ingin menangis sekencang-kencangnya.
Saya marah.
Saya marah dengan diri saya.
Saya marah dan menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi selama proses melahirkan kemarin dan dampaknya hingga saat ini.
Saya sedih.
Saya sedih tiap kali ditanya menyusui dengan ASI atau sufor.
Saya sedih tiap kali dikomentari untuk memaksa bayi saya agar menyusu langsung ke payudara bukan dipompa kemudian lewat botol.
Saya sedih tiap kali disangkutpautkan dengan bonding. Bahwa saya tak dapat membangun bonding dengan anak saya tanpa proses menyusui langsung.
Saya takut.
Saya marah.
Saya sedih.
Saya begitu ingin menangis sekencang-kencangnya.
Ketakutan, kemarahan, dan kesedihan sedikit demi sedikit menggerogoti rasa bahagia saya setiap harinya... hingga menjadi ibu justru membuat saya tidak bahagia.
Tolong.
Tolong.
Berhentilah bertanya "normal atau caesar?" Karena baik pervaginam maupun caesar keduanya normal.
Jangan tanya ASI atau sufor karena setiap ibu pasti ingin memberikan yang terbaik bagi bayinya versi dirinya.
Selama tak menyakiti sang bayi, tak perlu dikomentari.
Doakan saja yang terbaik.
Teruntuk Birru, anakku...
Ibu minta maaf untuk hari-hari pertama Birru di dunia justru tanpa Ibu dan Abi bersama Birru.
Ibu minta maaf untuk hari demi hari yang kita lalui bersama dengan banyak hal yang Ibu dan Abi masih belum pahami tentang Birru.
Ibu minta maaf untuk setiap tangis yang Birru keluarkan saat bersama Ibu. Ibu belum bisa mengerti, Nak, apa yang kamu butuhkan dan kamu inginkan.
Tapi yang pasti, kami sayang Birru.
Setiap harinya, Ibu dan Abi belajar untuk lebih mengerti Birru.
Semoga kasih kami sampai dan memenuhi hati Birru...
Semoga kedekatan Ibu dan Birru selalu bisa kita tingkatkan bersama melalui banyak hal ya, Nak...
Semoga Birru selalu dalam penjagaan Allah swt. Aamiin.
Jangan tanya ASI atau sufor karena setiap ibu pasti ingin memberikan yang terbaik bagi bayinya versi dirinya.
Selama tak menyakiti sang bayi, tak perlu dikomentari.
Doakan saja yang terbaik.
Teruntuk Birru, anakku...
Ibu minta maaf untuk hari-hari pertama Birru di dunia justru tanpa Ibu dan Abi bersama Birru.
Ibu minta maaf untuk hari demi hari yang kita lalui bersama dengan banyak hal yang Ibu dan Abi masih belum pahami tentang Birru.
Ibu minta maaf untuk setiap tangis yang Birru keluarkan saat bersama Ibu. Ibu belum bisa mengerti, Nak, apa yang kamu butuhkan dan kamu inginkan.
Tapi yang pasti, kami sayang Birru.
Setiap harinya, Ibu dan Abi belajar untuk lebih mengerti Birru.
Semoga kasih kami sampai dan memenuhi hati Birru...
Semoga kedekatan Ibu dan Birru selalu bisa kita tingkatkan bersama melalui banyak hal ya, Nak...
Semoga Birru selalu dalam penjagaan Allah swt. Aamiin.